Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI terungkap perdagangan Bursa Karbon hanya Rp 76 miliar dan anggota DPR RI menyebutnya sangat miris. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi mengklaim bursa karbon Indonesia lebih baik dibanding bursa karbon Jepang dan Malaysia. Hal itu berdasarkan perbandingan jumlah transaksi antara ketiga bursa tersebut.
Katanya, volume unit karbon yang diperdagangkan bursa karbon Indonesia tercatat sebesar 1.557.326 ton CO2 ekuivalen yang setara Rp76,56 miliar, sedangkan perdagangan karbon di Jepang baru 768.000 ton CO2 ekuivalen, sementara Malaysia 200.000 ton CO2 ekuivalen. “Kita mencoba untuk membandingkan antara bursa karbon yang ada di Indonesia dan juga di Jepang dan juga Bursa Malaysia. Ini hanya untuk pembanding kenapa kok kita ambil Jepang dan Malaysia karena didirikan tidak lama tidak terlalu berpaut jauh dengan apa yang kita didirikan di 2023,” kata Inarno dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2025).
Menurutnya, Indonesia cukup maju yang telah dilakukan atau telah transaksi yang ada itu sejumlah 1.557.000 ton CO2 ekuivalen dibanding untuk Jepang itu hanya 768.000 ton dan juga Bursa Malaysia yang setelah kita itu juga tidak terlalu jauh dari kita itu baru 200.000 ton.
Sementara itu klaim Inarno Djajadi tersebut tampaknya tidak disetujui oleh sejumlah anggota DPR RI. Anggota Komisi XI DPR RI Harris Turino misalnya yang mengkritik bursa karbon dan mengaku miris karena nilai transaksinya hanya Rp 76 miliar meski sudah diluncurkan sejak 26 September 2023. “Ini juga miris lagi dibuka 26 September 2023, total transaksinya tadi dikatakan hanya Rp 76,5 miliar. Padahal saya masih ingat ketika pembukaan dihadiri orang paling penting di Republik saat itu didengang-dengungkan bahwa ini akan mencapai angka ratusan triliun katanya,” sebut Harris.
Harris menilai persoalan yang terjadi di bursa karbon disebabkan karena tidak adanya sinkronisasi antara kementerian/lembaga yang membuat pasar bursa karbon tidak bisa menjadi besar. Ia juga mempertanyakan kemampuan Bursa Efek Indonesia sebagai penyelenggara bursa kabron. Kemudian OJK menunjuk BEI sebagai penyelenggara bursa karbon. “Bapak yakin BEI siap, karena BEI tidak punya pengalaman sama sekali dengan produk ini. Evaluasinya selama ini seperti apa tentang transaksi karbon. Dan apakah OJK siap secara infrastruktur, teknologi maupun SDM untuk mengembangkan ini,” kata Harris menegaskan.
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun juga terlihat tidak puas dengan perkembangan bursa karbon Indonesia. Meski baru berjalan selama 2 tahun, Misbakhun meminta ada evaluasi total terhadap bursa karbon. “Kita termasuk salah satu negara yang dianggap paru-paru dunia, hutan tropis kita dianggap nilai paling tinggi. Tapi kita juga malu melihat perkembangan bursa karbon kita. Kita malu melihat perkembangan bursa kabron,” katanya menegaskan.@
Sumber: EGINDO.com