Dalam beberapa tahun terakhir, isu lingkungan, perubahan iklim global, dan keberlanjutan menjadi perhatian utama di seluruh dunia. Standar lingkungan yang semakin ketat di berbagai negara, tuntutan konsumen atas produk ramah lingkungan, serta program seperti net zero carbon emission dan eco-labelling, telah mendorong industri untuk berinovasi dalam mengatasi tantangan ini agar tetap kompetitif di pasar internasional.
Dalam siaran pers Kemenperin yang dilansir EGINDO.com pada Senin (27/1/2025) menyebutkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2050. Komitmen ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk memenuhi target perjanjian Paris (Paris Agreement), bahkan lebih ambisius dengan target sepuluh tahun lebih cepat dari target emisi nol bersih nasional, yaitu tahun 2060. Kemenperin pun berfokus pada langkah-langkah konkret untuk mempercepat transisi menuju industri hijau, dengan mendorong penerapan teknologi ramah lingkungan, efisiensi energi, serta konsep ekonomi sirkular di seluruh sektor industri.
Sebagai penggerak utama perekonomian, sektor industri memikul tanggung jawab besar untuk mendukung pengurangan emisi global. “Dalam upaya menekan dampak polutan udara dan/atau emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari proses produksi, sektor industri turut berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi melalui pencapaian target Enhanced NDC (ENDC) untuk menurunkan emisi GRK. Dengan dukungan inovasi teknologi, kebijakan yang relevan, dan sinergi yang erat, kami yakin bahwa target NZE dapat tercapai lebih cepat,” ujar Sekretaris Jenderal Kemenperin, Eko S. A. Cahyanto di Jakarta.
Kemenperin telah mengidentifikasi sembilan subsektor industri prioritas yang menjadi fokus utama dalam upaya dekarbonisasi. Empat subsektor utama yang mendapatkan perhatian lebih besar hingga 2030 adalah industri semen, pupuk, besi & baja, serta pulp dan kertas. Subsektor ini menjadi fokus karena kontribusinya yang signifikan terhadap total emisi karbon industri nasional. Untuk itu, pendekatan yang diterapkan mencakup penggunaan teknologi rendah karbon, efisiensi energi, dan pencegahan polusi di seluruh rantai produksi.
Salah satu teknologi yang diharapkan dapat berperan besar dalam mengurangi emisi karbon adalah teknologi Carbon Capture Utilization (CCU). Teknologi ini memungkinkan karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan oleh proses industri dapat ditangkap, diproses, dan diubah menjadi produk berguna yang bisa dimanfaatkan oleh sektor industri lainnya. Dengan teknologi ini, industri dapat mengurangi emisi sambil menghasilkan produk yang bernilai ekonomi.
Kemenperin juga menekankan pentingnya kebijakan yang dapat mendorong pengurangan emisi di sektor industri. Saat ini, Kemenperin tengah menyusun kebijakan khusus yang bertujuan untuk memfasilitasi penerapan teknologi rendah karbon dan mendukung penerapan konsep ekonomi sirkular di sektor industri. Kebijakan ini akan memberikan panduan bagi perusahaan dalam mengurangi jejak karbon mereka, sekaligus meningkatkan daya saing di pasar global.
Penerapan konsep produksi bersih, efisiensi energi, serta simbiosis industri dalam kawasan industri juga menjadi bagian dari strategi dekarbonisasi yang diterapkan Kemenperin. Di kawasan industri, perusahaan-perusahaan dapat saling berkolaborasi untuk memanfaatkan produk sampingan dari proses produksi masing-masing, sehingga menciptakan ekosistem industri yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Langkah ini bertujuan untuk membangun ekosistem industri yang berkelanjutan, dimana setiap aktivitas produksi tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan. Kemenperin yakin Indonesia dapat mewujudkan ekosistem industri yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta mendukung pencapaian target NZE pada 2050. Dengan kerja sama yang erat antara pemerintah, pelaku industri, dan mitra internasional, Indonesia dapat memperkuat posisinya di kancah global sekaligus turut berperan aktif dalam mengatasi perubahan iklim global.@
Sumber: EGINDO.com