Ternyata Emisi Karbon Global Capai Rekor Tertinggi Tahun 2024

Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB COP29 di Baku, Azerbaijan, dimana negara-negara menegosiasikan cara untuk mencapai target yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015 dan mempercepat pengurangan emisi menuju “net zero” atau nol emisi karbon guna membatasi kenaikan suhu global.

Waktu yang ditentukan hamper habis untuk menuju “net zero” atau nol emisi karbon. “Waktu hampir habis untuk memenuhi target Perjanjian Paris – dan para pemimpin dunia yang bertemu di COP29 harus melakukan pengurangan emisi bahan bakar fosil secara cepat dan mendalam, agar kita memiliki peluang untuk tetap berada di bawah 2 derajat Celsius, dari tingkat pemanasan pra-industri,” ujar Pierre Friedlingstein dari Exeter’s Global Systems Institute.

Emisi karbon global dari bahan bakar fosil telah mencapai rekor tertinggi pada tahun 2024, demikian menurut laporan terbaru dari tim ilmuwan Global Carbon Project yang berbasis di Inggris. Laporan bertajuk “Anggaran Karbon Global 2024” itu memproyeksikan emisi karbon dioksida (CO2) dari pembakaran dan penggunaan bahan bakar fosil sebesar 37,4 miliar ton, naik 0,8% dari tahun 2023.

Selain emisi dari penggunaan bahan bakar fosil, laporan tersebut juga mengungkap proyeksi emisi dari perubahan penggunaan lahan (seperti deforestasi) sebesar 4,2 miliar ton, sehingga total emisi CO2 diproyeksikan mencapai 41,6 miliar ton pada tahun 2024, meningkat dari 40,6 miliar ton pada tahun lalu. Laporan terbaru Global Carbon Budget mengungkapkan bahwa emisi karbon dari bahan bakar fosil di dunia diperkirakan mencapai rekor tertinggi pada 2024. Di sisi lain, Indonesia menunjukkan tren penurunan emisi secara keseluruhan, meski tantangan besar masih membayangi.

Dalam keterangannya, Pierre Friedlingstein dari Universitas Exeter dan pemimpin studi ini menyampaikan bahwa emisi karbon global dari bahan bakar fosil diperkirakan akan mencapai 37,4 miliar ton pada 2024, naik 0,8 persen dibandingkan tahun 2023. Kenaikan ini menunjukkan tantangan besar yang masih dihadapi untuk menurunkan emisi global.

Laporan tersebut juga menemukan bahwa emisi karbon dari sektor alih fungsi lahan mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir. Pada 2024, emisi dari sektor ini diperkirakan berada pada level 4,2 miliar ton. Meski demikian, baik emisi dari bahan bakar fosil maupun perubahan penggunaan lahan dapat kembali meningkat akibat dampak fenomena El Nino yang memicu kekeringan serta memperburuk deforestasi dan kebakaran hutan.

Pierre Friedlingstein menekankan pentingnya tindakan cepat dari para pemimpin dunia yang berkumpul di COP29 untuk menurunkan emisi bahan bakar fosil secara signifikan demi mencapai target Perjanjian Paris. “Waktu semakin terbatas untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah 2°C dari tingkat pra-industri. Hingga kita mencapai net zero untuk emisi CO2, suhu dunia akan terus meningkat dan menyebabkan dampak yang semakin parah,” ujarnya.

Sementara itu di Indonesia, tren penurunan emisi karbon terlihat jelas, dengan emisi dari bahan bakar fosil pada 2023 tercatat sebesar 733,2 juta ton, turun dibandingkan 737 juta ton pada 2022. Meski demikian, Novita Indri, pengampanye energi fosil dari Trend Asia, mencatat bahwa emisi Indonesia masih tinggi akibat dominasi sektor energi berbasis fosil, meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam energi terbarukan.

Menurutnya pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru serta penggunaan turunan batu bara, seperti gasifikasi dan batu bara tercairkan, menjadi hambatan dalam menekan laju emisi. Upaya untuk mengurangi emisi bisa terhambat oleh proyek energi baru yang masih bergantung pada batu bara.

Sementara itu Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, menegaskan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan melalui target FOLU Net Sink 2030, yang bertujuan menjadikan sektor kehutanan sebagai penyerap karbon bersih pada 2030. Nadia mendorong agar Indonesia mengambil langkah tegas dalam mencegah deforestasi, termasuk dengan bergabung dalam kemitraan Forest and Climate Leaders’ Partnership (FCLP) untuk memperkuat komitmen. Namun, Nadia menggarisbawahi pentingnya konsistensi kebijakan.@

Sumber: EGINDO.com