Volume transaksi Bursa Karbon Indonesia ternyata lebih tinggi dari negara tetangga, Malaysia. Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik mengungkapkan posisi perdagangan bursa karbon dibandingkan dengan negara lain.
“Aktivitas di bursa karbon sejak diluncurkan sampai dengan saat ini atau persis satu tahun, dapat kami sampaikan ada beberapa poin, yaitu tiga. Itu dari proyek Lahendong, kemudian Muara Karang, dan Gunung Gugul, itu ketiganya adalah dari sektor ketenagalistrikan,” ujar Jeffrey Hendrik dalam acara webinar nasional ISEI secara virtual yang dipantau EGINDO.com.
Dijelaskannya Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menjadi penyelenggara perdagangan bursa karbon. Jeffrey mengungkapkan, sejak perdagangan bursa karbon diluncurkan pada 26 September 2023 telah terjadi volume transaksi sekitar 600 ribu ton dengan nilai transaksi Rp 37 miliar. Adapun total suplay bursa karbon saat ini sekitar 1,3 juta ton.
Jeffrey menyebut, jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia yang memiliki bursa karbon lebih awal dari Indonesia, terjadi volume transaksi kira-kira 190 ribu ton. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan bursa karbon Indonesia. Kira-kira 30% dari transaksi yang terjadi di bursa karbon di Indonesia.
Menurutnya, jika dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang, volume perdagangan bursa karbon Indonesia juga masih lebih tinggi. Jepang juga meluncurkan bursa karbon lebih kurang dari waktu yang sama dengan Indonesia, dan sudah terjadi transaksi kira-kira 500 ribu ton. “Jadi kalau kita bandingkan dengan bursa karbon negara lain yang diluncurkan lebih kurang waktunya sama dengan kita, kita membutuhkan nilai transaksi yang lebih besar,” ungkapnya.
Dijelaskannya, dari 601 ribu ton CO2 ekvivalen yang sudah ditransaksikan di Bursa, sudah ada sekitar 420 ribu yang diletakkan. “Dan ini dilakukan oleh 219 individu, artinya individu juga bisa berpartisipasi. Namun, potensi nilai ekonomi terhadap perdagangan bursa karbon di Indonesia masih sangat besar.@
Sumber: EGINDO.com