Pemerintah membuka peluang impor Karbon dari Luar Negeri (LN) untuk bisnis carbon capture storage (CCS) di Indonesia. Hal itu terungkap dalam konferensi pers International & Indonesia CCS Forum 2024, Selasa (23/1/2024) kemarin oleh Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenkomarves RI, Jodi Mahardi di Jakarta.
Dijelaskan pemerintah menilai pelaksanaan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) akan mendatangkan peluang investasi yang besar ke Indonesia, salah satunya melalui mekansime lintas batas (cross border).
Kementerian ESDM menjelaskan, cross border dijalankan ketika suatu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) memiliki partner dari suatu negara tertentu yang banyak memproduksi karbon (CO2) tetapi tidak punya area untuk diinjeksikan. Karbon dari luar negeri tersebut dapat dibawa ke Indonesia untuk diinjeksikan. Pelaksanaan cross border akan diakomodasi dengan Peraturan Presiden (Perpres) tentang CCS yang rencananya terbit.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenkomarves RI, Jodi Mahardi menyatakan dibukanya cross border ini agar Indonesia bisa menjadi CCS Hub. “Meski terbuka untuk negara lain, tetap alokasi penyimpanan untuk industri dalam negeri tetapi diprioritaskan,” ujarnya dalam konferensi pers International & Indonesia CCS Forum 2024 itu.
Menurutnya, investasi CCS saat ini di Indonesia masih sangat mahal karena teknologinya masih tergolong baru. Namun, dengan dibukanya peluang cross border dan terbentuk CCS Hub, dia yakin akan banyak investasi masuk. Jadi pada akhirnya industri bisa menggunakan CCS dengan lebih terjangkau.
Managing Director & Partner at Boston Consulting Group (BCG), Lenita Tobing menjelaskan dalam konteks global pasar CCS diprediksi akan tumbuh lebih dari US$ 130 miliar di 2030 dan tumbuh eksponensial di dekade berikutnya. Dalam materi paparannya, proyeksi pasar CCS global mencapai US$ 134 miliar di 2030 dan naik menjadi US$ 440 miliar di 2040. Peluang bisnis ini didominasi dari aktivitas penangkapan (capture), diikuti penyimpanan (storage), dan transportasi.
Indonesia sendiri katanya memiliki kapasitas penyimpanan yang sangat besar dan cukup untuk mendekarbonisasi ASEAN, Jepang, dan Korea Selatan. Di ASEAN total emisi karbon di 2022 sebanyak 1,7 giga ton per annum (GTPA). Kemudian di Jepang potensinya 0,7 GPTA, Korea Selatan 0,5 GTPA, dan Indonesia 0,9 GTPA berdasarkan target pemerintah di 2030. Sementara Indonesia memiliki potensi penyimpanan hingga 400-600 Gigaton di dalam depleted reservoid dan saline aquifer.
Selain kapasitas penyimpanan yang cukup besar, Indonesia juga mempunyai keunggulan lain, yaitu kedekatan lokasi sehingga memungkinkan pengangkutan karbon yang relatif murah. Terkait permintaan penyimpanan karbon ini terus didiskusikan dan dinegosiasikan dengan negara tetangga.
Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Mirza Mahendra mengungkapkan untuk skema cross border bukan berarti dari luar negeri bisa langsung mengirimkan CO2 ke Indonesia untuk diinjeksikan. Melainkan ada mekanisme yang harus dipenuhi terlebih dahulu, seperti dengan menjalin kerja sama antar pemerintah (G to G) yang dituangkan dalam perjanjian internasional. “Setelah ada kesepakatan G to G baru nanti ditindaklanjuti dengan perusahaan melalui B to B, dan menekankan bahwa pengangkutan CO2 ini dari luar tidak menambah inventory dari GRK nasional jadi tetap itu adalah menjadi tanggung jawab dari negara tersebut,” katanya menjelaskan.
Dalam draf Perpres, sambung Mirza, telah disepakati bahwa yang bisa melakukan cross border untuk injeksi CO2 di Indonesia, adalah industri-industri yang sudah memiliki afiliasi atau sudah melakukan investasi di Indonesia. Pada September 2023 lalu BP Berau Ltd (bp) dan kontraktor di bawah Tangguh PSC, bersama Chubu Electric Power Co., Inc. telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) studi kelayakan rantai nilai CCUS internasional dari Pelabuhan Nagoya, Jepang, termasuk potensi penyimpanan Co2 di Lapangan Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat.@
Sumber: EGINDO.co